Friday, March 5, 2010

Sifat Terpuji Sabar


Sabar adalah pilar
kebahagiaan
seorang hamba.
Dengan kesabaran
itulah seorang
hamba akan terjaga
dari kemaksiatan,
konsisten
menjalankan
ketaatan, dan tabah
dalam menghadapi
berbagai macam
cobaan. Ibnul Qayyim
rahimahullah
mengatakan,
“ Kedudukan sabar
dalam iman laksana
kepala bagi seluruh
tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong
maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam
tubuh.” (Al
Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al
‘Utsaimin
rahimahullah
berkata, “Sabar
adalah meneguhkan
diri dalam
menjalankan
ketaatan kepada
Allah, menahannya
dari perbuatan
maksiat kepada
Allah, serta
menjaganya dari
perasaan dan sikap
marah dalam
menghadapi takdir
Allah….” (Syarh
Tsalatsatul Ushul,
hal. 24)
Macam-Macam
Sabar
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al
‘Utsaimin
rahimahullah
berkata, “Sabar itu
terbagi menjadi tiga
macam:
1. Bersabar dalam
menjalankan
ketaatan kepada
Allah
2. Bersabar untuk
tidak melakukan hal-
hal yang diharamkan
Allah
3. Bersabar dalam
menghadapi takdir-
takdir Allah yang
dialaminya, berupa
berbagai hal yang
menyakitkan dan
gangguan yang
timbul di luar
kekuasaan manusia
ataupun yang
berasal dari orang
lain (Syarh
Tsalatsatul Ushul,
hal. 24)
Sebab Meraih
Kemuliaan
Di dalam Taisir
Lathifil Mannaan
Syaikh As Sa’di
rahimahullah
menyebutkan sebab-
sebab untuk
menggapai berbagai
cita-cita yang tinggi.
Beliau menyebutkan
bahwa sebab
terbesar untuk bisa
meraih itu semua
adalah iman dan
amal shalih.
Di samping itu, ada
sebab-sebab lain
yang merupakan
bagian dari kedua
perkara ini. Di
antaranya adalah
kesabaran. Sabar
adalah sebab untuk
bisa mendapatkan
berbagai kebaikan
dan menolak
berbagai keburukan.
Hal ini sebagaimana
diisyaratkan oleh
firman Allah ta’ala,
“Dan mintalah
pertolongan dengan
sabar dan
shalat.” (QS. Al
Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah
pertolongan kepada
Allah dengan bekal
sabar dan shalat
dalam menangani
semua urusan kalian.
Begitu pula sabar
menjadi sebab
hamba bisa meraih
kenikmatan abadi
yaitu surga. Allah
ta’ala berfirman
kepada penduduk
surga,
“ Keselamatan atas
kalian berkat
kesabaran
kalian. ” (QS. Ar
Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman,
“Mereka itulah
orang-orang yang
dibalas dengan
kedudukan-
kedudukan tinggi (di
surga) dengan sebab
kesabaran
mereka. ” (QS. Al
Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun
menjadikan sabar
dan yakin sebagai
sebab untuk
mencapai kedudukan
tertinggi yaitu
kepemimpinan
dalam hal agama.
Dalilnya adalah
firman Allah ta’ala,
“Dan Kami
menjadikan di antara
mereka (Bani Isra ’il)
para pemimpin yang
memberikan
petunjuk dengan
titah Kami, karena
mereka mau
bersabar dan
meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. As
Sajdah [32]: 24)
(Lihat Taisir Lathifil
Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam
Ketaatan
Sabar Dalam
Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan,
“ Betapa banyak
gangguan yang
harus dihadapi oleh
seseorang yang
berusaha menuntut
ilmu. Maka dia harus
bersabar untuk
menahan rasa lapar,
kekurangan harta,
jauh dari keluarga
dan tanah airnya.
Sehingga dia harus
bersabar dalam
upaya menimba ilmu
dengan cara
menghadiri
pengajian-pengajian,
mencatat dan
memperhatikan
penjelasanserta
mengulang-ulang
pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga Allah
merahmati Yahya bin
Abi Katsir yang
pernah mengatakan,
“Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan
banyak
mengistirahatkan
badan ”,
sebagaimana
tercantum dalam
shahih Imam Muslim.
Terkadang
seseorang harus
menerima gangguan
dari orang-orang
yang terdekat
darinya, apalagi
orang lain yang
hubungannya jauh
darinya, hanya
karena kegiatannya
menuntut ilmu. Tidak
ada yang bisa
bertahan kecuali
orang-orang yang
mendapatkan
anugerah ketegaran
dari Allah.” (Taisirul
wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam
Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Dan
orang yang ingin
beramal dengan
ilmunya juga harus
bersabar dalam
menghadapi
gangguan yang ada
di hadapannya.
Apabila dia
melaksanakan
ibadah kepada Allah
menuruti syari’at
yang diajarkan
Rasulullah niscaya
akan ada ahlul bida’
wal ahwaa’ yang
menghalangi di
hadapannya,
demikian pula orang-
orang bodoh yang
tidak kenal agama
kecuali ajaran
warisan nenek
moyang mereka.
Sehingga gangguan
berupa ucapan harus
diterimanya, dan
terkadang berbentuk
gangguan fisik,
bahkan terkadang
dengan kedua-
keduanya. Dan kita
sekarang ini berada
di zaman di mana
orang yang
berpegang teguh
dengan agamanya
seperti orang yang
sedang
menggenggam bara
api, maka cukuplah
Allah sebagai
penolong bagi kita,
Dialah sebaik-baik
penolong” (Taisirul
wushul, hal. 13)
Sabar Dalam
Berdakwah
Syaikh Nu’man
mengatakan,
“ Begitu pula orang
yang berdakwah
mengajak kepada
agama Allah harus
bersabar
menghadapi
gangguan yang
timbul karena sebab
dakwahnya, karena
di saat itu dia tengah
menempati posisi
sebagaimana para
Rasul. Waraqah bin
Naufal mengatakan
kepada Nabi kita
shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Tidaklah ada
seorang pun yang
datang dengan
membawa ajaran
sebagaimana yang
kamu bawa
melainkan pasti akan
disakiti orang. ”
Sehingga jika dia
mengajak kepada
tauhid didapatinya
para da’i pengajak
kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu
pula para pengikut
dan orang-orang
yang
mengenyangkan
perut mereka
dengan cara itu.
Sedangkan apabila
dia mengajak
kepada ajaran As
Sunnah maka akan
ditemuinya para
pembela bid’ah dan
hawa nafsu. Begitu
pula jika dia
memerangi
kemaksiatan dan
berbagai
kemungkaran
niscaya akan
ditemuinya para
pemuja syahwat,
kefasikan dan dosa
besar serta orang-
orang yang turut
bergabung dengan
kelompok mereka.
Mereka semua akan
berusaha
menghalang-halangi
dakwahnya karena
dia telah
menghalangi mereka
dari kesyirikan,
bid’ah dan
kemaksiatan yang
selama ini mereka
tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)
Sabar dan
Kemenangan
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al
‘Utsaimin
rahimahullah
berkata, “Allah
ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya,
“Dan sungguh telah
didustakan para
Rasul sebelummu,
maka mereka pun
bersabar
menghadapi
pendustaan
terhadap mereka
dan mereka juga
disakiti sampai
tibalah pertolongan
Kami.” (QS. Al
An’aam [6]: 34).
Semakin besar
gangguan yang
diterima niscaya
semakin dekat pula
datangnya
kemenangan. Dan
bukanlah
pertolongan/
kemenangan itu
terbatas hanya pada
saat seseorang
(da’i) masih hidup
saja sehingga dia
bisa menyaksikan
buah dakwahnya
terwujud. Akan
tetapi yang
dimaksud
pertolongan itu
terkadang muncul di
saat sesudah
kematiannya. Yaitu
ketika Allah
menundukkan hati-
hati umat manusia
sehingga menerima
dakwahnya serta
berpegang teguh
dengannya.
Sesungguhnya hal itu
termasuk
pertolongan yang
didapatkan oleh
da’i ini meskipun
dia sudah mati.
Maka wajib bagi
para da’i untuk
bersabar dalam
melancarkan
dakwahnya dan
tetap konsisten
dalam
menjalankannya.
Hendaknya dia
bersabar dalam
menjalani agama
Allah yang sedang
didakwahkannya
dan juga hendaknya
dia bersabar dalam
menghadapi
rintangan dan
gangguan yang
menghalangi
dakwahnya. Lihatlah
para Rasul
shalawatullaahi wa
salaamuhu ‘alaihim.
Mereka juga disakiti
dengan ucapan dan
perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala
berfirman yang
artinya,
“ Demikianlah,
tidaklah ada seorang
Rasul pun yang
datang sebelum
mereka melainkan
mereka (kaumnya)
mengatakan, ‘Dia
adalah tukang sihir
atau orang
gila’.” (QS. Adz
Dzariyaat [51]: 52).
Begitu juga Allah
‘azza wa jalla
berfirman, “Dan
demikianlah Kami
menjadikan bagi
setiap Nabi ada
musuh yang berasal
dari kalangan orang-
orang
pendosa.” (QS. Al
Furqaan [25]: 31).
Namun, hendaknya
para da’i tabah dan
bersabar dalam
menghadapi itu
semua…” (Syarh
Tsalatsatul Ushul,
hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana
kisah Bilal bin Rabah
radhiyallahu ‘anhu
yang tetap
berpegang teguh
dengan Islam
meskipun harus
merasakan siksaan
ditindih batu besar
oleh majikannya di
atas padang pasir
yang panas (Lihat
Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 122).
Ingatlah bagaimana
siksaan tidak
berperikemanusiaan
yang dialami oleh
Ammar bin Yasir dan
keluarganya. Ibunya
Sumayyah disiksa
dengan cara yang
sangat keji sehingga
mati sebagai
muslimah pertama
yang syahid di jalan
Allah. (Lihat Tegar di
Jalan Kebenaran, hal.
122-123)
Lihatlah keteguhan
Sa’ad bin Abi
Waqqash
radhiyallahu ‘anhu
yang dipaksa oleh
ibunya untuk
meninggalkan Islam
sampai-sampai
ibunya bersumpah
mogok makan dan
minum bahkan tidak
mau mengajaknya
bicara sampai mati.
Namun dengan tegas
Sa’ad bin Abi
Waqqash
mengatakan,
“ Wahai Ibu, demi
Allah, andaikata ibu
memiliki seratus
nyawa kemudian
satu persatu keluar,
sedetikpun ananda
tidak akan
meninggalkan
agama ini…” (Lihat
Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 133)
Inilah akidah, inilah
kekuatan iman, yang
sanggup bertahan
dan kokoh
menjulang walaupun
diterpa oleh berbagai
badai dan topan
kehidupan.
Saudaraku,
ketahuilah
sesungguhnya
cobaan yang
menimpa kita pada
hari ini, baik yang
berupa kehilangan
harta, kehilangan
jiwa dari saudara
yang tercinta,
kehilangan tempat
tinggal atau
kekurangan bahan
makanan, itu semua
jauh lebih ringan
daripada cobaan
yang dialami oleh
salafush shalih dan
para ulama pembela
dakwah tauhid di
masa silam.
Mereka disakiti,
diperangi,
didustakan, dituduh
yang bukan-bukan,
bahkan ada juga
yang dikucilkan. Ada
yang tertimpa
kemiskinan harta,
bahkan ada juga
yang sampai
meninggal di dalam
penjara, namun
sama sekali itu
semua tidaklah
menggoyahkan pilar
keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah
ta’ala yang artinya,
“Dan janganlah
sekali-kali kamu
mati melainkan
dalam keadaan
sebagai seorang
muslim.” (QS. Ali
‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji
Allah yang artinya,
“Barang siapa yang
bertakwa kepada
Allah niscaya akan
Allah berikan jalan
keluar dan Allah akan
berikan rezeki
kepadanya dari jalan
yang tidak disangka-
sangka.” (QS. Ath
Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam
sebuah riwayat
bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Ketahuilah,
sesungguhnya
datangnya
kemenangan itu
bersama dengan
kesabaran. Bersama
kesempitan pasti
akan ada jalan
keluar. Bersama
kesusahan pasti
akan ada
kemudahan.” (HR.
Abdu bin Humaid di
dalam Musnadnya
[636] (Lihat Durrah
Salafiyah, hal. 148)
dan Al Haakim dalam
Mustadrak ‘ala
Shahihain, III/624).
(Syarh Arba’in Ibnu
‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi
Maksiat
Syaikh Zaid bin
Muhammad bin Hadi
Al Madkhali
mengatakan,
“ Bersabar menahan
diri dari kemaksiatan
kepada Allah,
sehingga dia
berusaha menjauhi
kemaksiatan, karena
bahaya dunia, alam
kubur dan akhirat
siap menimpanya
apabila dia
melakukannya. Dan
tidaklah umat-umat
terdahulu binasa
kecuali karena
disebabkan
kemaksiatan
mereka,
sebagaimana hal itu
dikabarkan oleh Allah
‘ azza wa jalla di
dalam muhkam al-
Qur’an.
Di antara mereka
ada yang
ditenggelamkan oleh
Allah ke dalam
lautan, ada pula yang
binasa karena
disambar petir, ada
pula yang
dimusnahkan dengan
suara yang
mengguntur, dan ada
juga di antara
mereka yang
dibenamkan oleh
Allah ke dalam perut
bumi, dan ada juga di
antara mereka yang
di rubah bentuk
fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab
tersebut
memberikan
catatan, “Syaikh
memberikan isyarat
terhadap sebuah
ayat, “Maka
masing-masing
(mereka itu) kami
siksa disebabkan
dosanya, Maka di
antara mereka ada
yang kami timpakan
kepadanya hujan
batu kerikil dan di
antara mereka ada
yang ditimpa suara
keras yang
mengguntur, dan di
antara mereka ada
yang kami
benamkan ke dalam
bumi, dan di antara
mereka ada yang
kami tenggelamkan,
dan Allah sekali-kali
tidak hendak
menganiaya mereka,
akan tetapi
merekalah yang
menganiaya diri
mereka
sendiri. ” (QS. Al
‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu
semua terjadi hanya
karena satu sebab
saja yaitu maksiat
kepada Allah
tabaaraka wa
ta’ala. Karena hak
Allah adalah untuk
ditaati tidak boleh
didurhakai, maka
kemaksiatan kepada
Allah merupakan
kejahatan yang
sangat mungkar
yang akan
menimbulkan
kemurkaan,
kemarahan serta
mengakibatkan
turunnya siksa-Nya
yang sangat pedih.
Jadi, salah satu
macam kesabaran
adalah bersabar
untuk menahan diri
dari perbuatan
maksiat kepada
Allah. Janganlah
mendekatinya.
Dan apabila
seseorang sudah
terlanjur terjatuh di
dalamnya hendaklah
dia segera bertaubat
kepada Allah dengan
taubat yang
sebenar-benarnya,
meminta ampunan
dan menyesalinya di
hadapan Allah. Dan
hendaknya dia
mengikuti kejelekan-
kejelekannya
dengan berbuat
kebaikan-kebaikan.
Sebagaimana
difirmankan Allah
‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan
akan menghapuskan
kejelekan-
kejelekan. ” (QS.
Huud [11] : 114). Dan
juga sebagaimana
disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Dan
ikutilah kejelekan
dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu
akan
menghapuskannya.” (HR.
Ahmad, dll,
dihasankan Al Albani
dalam Misykatul
Mashaabih 5043)
…” (Thariqul
wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima
Takdir
Syaikh Zaid bin
Muhammad bin Hadi
Al Madkhali
mengatakan,
“ Macam ketiga dari
macam-macam
kesabaran adalah
Bersabar dalam
menghadapi takdir
dan keputusan Allah
serta hukum-Nya
yang terjadi pada
hamba-hamba-Nya.
Karena tidak ada
satu gerakan pun di
alam raya ini, begitu
pula tidak ada suatu
kejadian atau urusan
melainkan Allah lah
yang
mentakdirkannya.
Maka bersabar itu
harus. Bersabar
menghadapi
berbagai musibah
yang menimpa diri,
baik yang terkait
dengan nyawa, anak,
harta dan lain
sebagainya yang
merupakan takdir
yang berjalan
menurut ketentuan
Allah di alam
semesta…” (Thariqul
wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al
Mujaddid Al Mushlih
Muhammad bin Abdul
Wahhab
rahimahullahu
ta ’ala membuat
sebuah bab di dalam
Kitab Tauhid beliau
yang berjudul, “Bab
Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala
aqdarillah” (Bab
Bersabar dalam
menghadapi takdir
Allah termasuk
cabang keimanan
kepada Allah)
Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alusy
Syaikh
hafizhahullahu
ta ’ala mengatakan
dalam penjelasannya
tentang bab yang
sangat berfaedah ini,
“Sabar tergolong
perkara yang
menempati
kedudukan agung (di
dalam agama). Ia
termasuk salah satu
bagian ibadah yang
sangat mulia. Ia
menempati relung-
relung hati, gerak-
gerik lisan dan
tindakan anggota
badan. Sedangkan
hakikat
penghambaan yang
sejati tidak akan
terealisasi tanpa
kesabaran.
Hal ini dikarenakan
ibadah merupakan
perintah syari’at
(untuk mengerjakan
sesuatu), atau
berupa larangan
syari’at (untuk
tidak mengerjakan
sesuatu), atau bisa
juga berupa ujian
dalam bentuk
musibah yang
ditimpakan Allah
kepada seorang
hamba supaya dia
mau bersabar ketika
menghadapinya.
Hakikat
penghambaan
adalahtunduk
melaksanakan
perintah syari’at
serta menjauhi
larangan syari’at
dan bersabar
menghadapi
musibah-musibah.
Musibah yang
dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah
jalla wa ‘ala untuk
menempa hamba-
hamba-Nya. Dengan
demikian ujian itu
bisa melalui sarana
ajaran agama dan
melalui sarana
keputusan takdir.
Adapun ujian dengan
dibebani ajaran-
ajaran agama adalah
sebagaimana
tercermin dalam
firman Allah jalla wa
‘ala kepada Nabi-
Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam di
dalam sebuah hadits
qudsi riwayat Muslim
dari ‘Iyaadh bin
Hamaar. Dia berkata,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
pernah bersabda
“Allah ta’ala
berfirman:
‘ Sesungguhnya Aku
mengutusmu dalam
rangka menguji
dirimu. Dan Aku
menguji (manusia)
dengan dirimu’.”
Maka hakikat
pengutusan Nabi
‘alaihish shalaatu
was salaam adalah
menjadi ujian.
Sedangkan adanya
ujian jelas
membutuhkan sikap
sabar dalam
menghadapinya.
Ujian yang ada
dengan diutusnya
beliau sebagai rasul
ialah dengan bentuk
perintah dan
larangan.
Untuk melaksanakan
berbagai kewajiban
tentu saja
dibutuhkan bekal
kesabaran. Untuk
meninggalkan
berbagai larangan
dibutuhkan bekal
kesabaran. Begitu
pula saat
menghadapi
keputusan takdir
kauni (yang
menyakitkan) tentu
juga diperlukan
bekal kesabaran.
Oleh sebab itulah
sebagian ulama
mengatakan,
“ Sesungguhnya
sabar terbagi tiga;
sabar dalam berbuat
taat, sabar dalam
menahan diri dari
maksiat dan sabar
tatkala menerima
takdir Allah yang
terasa
menyakitkan.”
Karena amat
sedikitnya dijumpai
orang yang sanggup
bersabar tatkala
tertimpa musibah
maka Syaikh pun
membuat sebuah
bab tersendiri,
semoga Allah
merahmati beliau.
Hal itu beliau lakukan
dalam rangka
menjelaskan
bahwasanya sabar
termasuk bagian dari
kesempurnaan
tauhid. Sabar
termasuk kewajiban
yang harus
ditunaikan oleh
hamba, sehingga ia
pun bersabar
menanggung
ketentuan takdir
Allah.
Ungkapan rasa
marah dan tak mau
sabar itulah yang
banyak muncul
dalam diri orang-
orang tatkala
mereka
mendapatkan ujian
berupa
ditimpakannya
musibah. Dengan
alasan itulah beliau
membuat bab ini,
untuk menerangkan
bahwa sabar adalah
hal yang wajib
dilakukan tatkala
tertimpa takdir yang
terasa menyakitkan.
Dengan hal itu beliau
juga ingin
memberikan
penegasan bahwa
bersabar dalam
rangka menjalankan
ketaatan dan
meninggalkan
kemaksiatan
hukumnya juga
wajib.
Secara bahasa sabar
artinya tertahan.
Orang Arab
mengatakan,
“ Qutila fulan
shabran” (artinya si
polan dibunuh dalam
keadaan “shabr”)
yaitu tatkala dia
berada dalam
tahanan atau sedang
diikat lalu dibunuh,
tanpa ada
perlawanan atau
peperangan. Dan
demikianlah inti
makna kesabaran
yang dipakai dalam
pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai
sabar karena di
dalamnya
terkandung
penahanan lisan
untuk tidak berkeluh
kesah, menahan hati
untuk tidak merasa
marah dan menahan
anggota badan untuk
tidak
mengekspresikan
kemarahan dalam
bentuk menampar-
nampar pipi,
merobek-robek kain
dan semacamnya.
Maka menurut istilah
syari’at sabar
artinya: Menahan
lisan dari mengeluh,
menahan hati dari
marah dan menahan
anggota badan dari
menampakkan
kemarahan dengan
cara merobek-robek
sesuatu dan
tindakan lain
semacamnya.
Imam Ahmad
rahimahullah
berkata, “Di dalam
al-Qur’an kata
sabar disebutkan
dalam 90 tempat
lebih. Sabar adalah
bagian iman,
sebagaimana
kedudukan kepala
bagi jasad. Sebab
orang yang tidak
punya kesabaran
dalam menjalankan
ketaatan, tidak
punya kesabaran
untuk menjauhi
maksiat serta tidak
sabar tatkala
tertimpa takdir yang
menyakitkan maka
dia kehilangan
banyak sekali bagian
keimanan”
Perkataan beliau
“Bab Minal imaan,
ash shabru ‘ala
aqdaarillah”
artinya: salah satu
ciri karakteristik
iman kepada Allah
adalah bersabar
tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah.
Keimanan itu
mempunyai cabang-
cabang.
Sebagaimana
kekufuran juga
bercabang-cabang.
Maka dengan
perkataan “Minal
imaan ash shabru”
beliau ingin
memberikan
penegasan bahwa
sabar termasuk
salah satu cabang
keimanan. Beliau
juga memberikan
penegasan melalui
sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh
Muslim yang
menunjukkan bahwa
niyaahah (meratapi
mayit) itu juga
termasuk salah satu
cabang kekufuran.
Sehingga setiap
cabang kekafiran itu
harus dihadapi
dengan cabang
keimanan. Meratapi
mayit adalah sebuah
cabang kekafiran
maka dia harus
dihadapi dengan
sebuah cabang
keimanan yaitu
bersabar terhadap
takdir Allah yang
terasa
menyakitkan” (At
Tamhiid,
hal.389-391)

Akhlak


Akhlak secara
terminologi berarti
tingkah laku
seseorang yang
didorong oleh suatu
keinginan secara
sadar untuk
melakukan suatu
perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan
bentuk jamak dari
kata khuluk, berasal
dari bahasa Arab
yang berarti
perangai, tingkah
laku, atau tabiat.
Tiga pakar di bidang
akhlak yaitu Ibnu
Miskawaih, Al Gazali,
dan Ahmad Amin
menyatakan bahwa
akhlak adalah
perangai yang
melekat pada diri
seseorang yang
dapat memunculkan
perbuatan baik
tanpa
mempertimbangkan
pikiran terlebih

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia


S E J A R A H I S L AM
D I I ND O NE S I A
Pada tahun 30 Hijri atau
651 Masehi, hanya
berselang sekitar 20 tahun
dari wafatnya Rasulullah
SAW, Khalifah Utsman ibn
Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah
Islam yang belum lama
berdiri. Dalam perjalanan
yang memakan waktu
empat tahun ini, para
utusan Utsman ternyata
sempat singgah di
Kepulauan Nusantara.
Beberapa tahun
kemudian, tepatnya tahun
674 M, Dinasti Umayyah
telah mendirikan
pangkalan dagang di
pantai barat Sumatera.
Inilah perkenalan pertama
penduduk Indonesia
dengan Islam. Sejak itu
para pelaut dan pedagang
Muslim terus
berdatangan, abad demi
abad. Mereka membeli
hasil bumi dari negeri nan
hijau ini sambil
berdakwah.
Lambat laun penduduk
pribumi mulai memeluk
Islam meskipun belum
secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat
dari Kepulauan Nusantara,
adalah yang pertama
sekali menerima agama
Islam. Bahkan di Acehlah
kerajaan Islam pertama di
Indonesia berdiri, yakni
Pasai. Berita dari
Marcopolo menyebutkan
bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai
tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab
yang menyebarkan Islam.
Begitu pula berita dari
Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari
Maghribi., yang ketika
singgah di Aceh tahun
746 H / 1345 M
menuliskan bahwa di
Aceh telah tersebar
mazhab Syafi'i. Adapun
peninggalan tertua dari
kaum Muslimin yang
ditemukan di Indonesia
terdapat di Gresik, Jawa
Timur. Berupa komplek
makam Islam, yang salah
satu diantaranya adalah
makam seorang
Muslimah bernama
Fathimah binti Maimun.
Pada makamnya tertulis
angka tahun 475 H / 1082
M, yaitu pada jaman
Kerajaan Singasari.
Diperkirakan makam-
makam ini bukan dari
penduduk asli, melainkan
makam para pedagang
Arab.
Sampai dengan abad ke-8
H / 14 M, belum ada
pengislaman penduduk
pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada
abad ke-9 H / 14 M,
penduduk pribumi
memeluk Islam secara
massal. Para pakar
sejarah berpendapat
bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara
secara besar-besaran
pada abad tersebut
disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki
kekuatan politik yang
berarti. Yaitu ditandai
dengan berdirinya
beberapa kerajaan
bercorak Islam seperti
Kerajaan Aceh
Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta
Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran,
keturunan raja-raja
pribumi pra Islam dan
para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada
abad ke-14 dan 15 M
antara lain juga
disebabkan oleh surutnya
kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu /
Budha di Nusantara
seperti Majapahit,
Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam
The Preaching of Islam
mengatakan bahwa
kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk
seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol.
Islam datang ke Asia
Tenggara dengan jalan
damai, tidak dengan
pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik.
Islam masuk ke Nusantara
dengan cara yang benar-
benar menunjukkannya
sebagai rahmatan
lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya
penduduk pribumi
Nusantara dan
terbentuknya
pemerintahan-
pemerintahan Islam di
berbagai daerah
kepulauan ini,
perdagangan dengan
kaum Muslimin dari pusat
dunia Islam menjadi
semakin erat. Orang Arab
yang bermigrasi ke
Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar
diantaranya adalah berasal
dari Hadramaut, Yaman.
Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan
dikatakan sebagai yang
terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-
bangsa Eropa Nasrani
berdatangan dan dengan
rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di
Nusantara, hubungan
dengan pusat dunia Islam
seakan terputus.
Terutama di abad ke 17
dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain
karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh
perlawanan menentang
penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang
diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para
penjajah - terutama
Belanda - menundukkan
kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti
menyodorkan perjanjian
yang isinya melarang
kerajaan tersebut
berhubungan dagang
dengan dunia luar kecuali
melalui mereka. Maka
terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara
dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang
telah terjalin beratus-ratus
tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk
menjauhkan ummat
Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari
kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran
antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya
bangsa Eropa pada akhir
abad ke-15 Masehi ke
kepulauan subur makmur
ini, memang sudah
terlihat sifat rakus mereka
untuk menguasai. Apalagi
mereka mendapati
kenyataan bahwa
penduduk kepulauan ini
telah memeluk Islam,
agama seteru mereka,
sehingga semangat
Perang Salib pun selalu
dibawa-bawa setiap kali
mereka menundukkan
suatu daerah. Dalam
memerangi Islam mereka
bekerja sama dengan
kerajaan-kerajaan pribumi
yang masih menganut
Hindu / Budha. Satu
contoh, untuk
memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin,
maka setelah menguasai
Malaka pada tahun 1511,
Portugis menjalin
kerjasama dengan
Kerajaan Sunda Pajajaran
untuk membangun
sebuah pangkalan di
Sunda Kelapa. Namun
maksud Portugis ini gagal
total setelah pasukan
gabungan Islam dari
sepanjang pesisir utara
Pulau Jawa bahu
membahu menggempur
mereka pada tahun 1527
M. Pertempuran besar
yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang
putra Aceh berdarah Arab
Gujarat, yaitu Fadhilah
Khan Al-Pasai, yang lebih
terkenal dengan gelarnya,
Fathahillah. Sebelum
menjadi orang penting di
tiga kerajaan Islam Jawa,
yakni Demak, Cirebon dan
Banten, Fathahillah sempat
berguru di Makkah.
Bahkan ikut
mempertahankan Makkah
dari serbuan Turki
Utsmani.
Kedatangan kaum
kolonialis di satu sisi telah
membangkitkan
semangat jihad kaum
muslimin Nusantara,
namun di sisi lain
membuat pendalaman
akidah Islam tidak merata.
Hanya kalangan pesantren
(madrasah) saja yang
mendalami keislaman,
itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafi'i.
Sedangkan pada kaum
Muslimin kebanyakan,
terjadi percampuran
akidah dengan tradisi pra
Islam. Kalangan priyayi
yang dekat dengan
Belanda malah sudah
terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini
setidaknya masih terjadi
hingga sekarang. Terlepas
dari hal ini, ulama-ulama
Nusantara adalah orang-
orang yang gigih
menentang penjajahan.
Meskipun banyak diantara
mereka yang berasal dari
kalangan tarekat, namun
justru kalangan tarekat
inilah yang sering bangkit
melawan penjajah. Dan
meski pada akhirnya
setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan
taktik licik, namun sejarah
telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang
gugur pada berbagai
pertempuran melawan
Belanda. Sejak perlawanan
kerajaan-kerajaan Islam di
abad 16 dan 17 seperti
Malaka (Malaysia), Sulu
(Filipina), Pasai, Banten,
Sunda Kelapa, Makassar,
Ternate, hingga
perlawanan para ulama di
abad 18 seperti Perang
Cirebon (Bagus rangin),
Perang Jawa
(Diponegoro), Perang
Padri (Imam Bonjol), dan
Perang Aceh (Teuku
Umar).

Ujian Nasional


Mata Pelajaran Yang
Diujikan
Untuk tingkat
Sekolah Dasar (SD)
ada 4 mata pelajaran
yang diujikan yaitu:
1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Matematika
4. Ilmu Pengetahuan
Alam
Untuk tingkat
Sekolah Menengah
Pertama (SMP) ada 4
mata pelajaran yang
diujikan yaitu:
1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Matematika
4. Ilmu Pengetahuan
Alam
Untuk tingkat
Sekolah Menengah
Atas (SMA) ada 6
mata pelajaran yang
diujikan, tergantung
penjurusannya:
Penjurusan IPA
1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Matematika
4. Fisika
5. Biologi
6. Kimia
Penjurusan IPS
1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Matematika
4. Geografi
5. Ekonomi
6. Sosiologi
Standar Nasional
Pendidikan
Selama ini
penentuan batas
kelulusan ujian
nasional ditentukan
berdasarkan
kesepakatan antara
pengambil
keputusan
(stakeholder) saja.
Batas kelulusan itu
ditentukan sama
untuk setiap mata
pelajaran. Padahal
karakteristik mata
pelajaran dan
kemampuan peserta
didik tidaklah sama.
Hal itu tidak menjadi
pertimbangan para
pengambil
keputusan
pendidikan. Belum
tentu dalam satu
jenjang pendidikan
tertentu, tiap mata
pelajaran memiliki
standar yang sama
sebagai standar
minimum pencapaian
kompetensi. Ada
mata pelajaran yang
menuntut
pencapaian
kompetensi
minimum yang
tinggi, sementara
mata pelajaran lain
menentukan tidak
setinggi itu. Keadaan
ini menjadi tidak adil
bagi peserta didik,
karena dituntut
melebihi kapasitas
kemampuan
maksimalnya.
Strategi
Perancangan
Penyusunan
standard setting
dimulai dengan
penentuan
pendekatan yang
digunakan dalam
penentuan standar.
Ada tiga macam
pendekatan yang
dapat dipakai
sebagai acuan yaitu:
1. Penentuan standar
berdasarkan kesan
umum terhadap tes
2. Penentuan standar
tes berdasarkan isi
setiap soal tes
3. Penentuan standar
berdasarkan skor tes
Pada tiap-tiap akhir
tahun kegiatan
belajar diambil
kesimpulan dan
pembukuan standar
setting berdasarkan
tiga pendekatan
tersebut untuk
menentukan batas
kelulusan.

Ujian Nasional


Ujian Nasional
Dari Wikipedia
bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Ujian Nasional biasa
disingkat UN adalah
sistem evaluasi
standar pendidikan
dasar dan menengah
secara nasional dan
persamaan mutu
tingkat pendidikan
antar daerah yang
dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan,
Depdiknas di
Indonesia
berdasarkan
Undang-undang
Republik Indonesia
nomor 20 tahun 2003
menyatakan bahwa
dalam rangka
pengendalian mutu
pendidikan secara
nasional dilakukan
evaluasi sebagai
bentuk akuntabilitas
penyelenggara
pendidikan kepada
pihak-pihak yang
berkepentingan.
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa
evaluasi dilakukan
oleh lembaga yang
mandiri secara
berkala, menyeluruh,
transparan, dan
sistematik untuk
menilai pencapaian
standar nasional
pendidikan dan
proses pemantauan
evaluasi tersebut
harus dilakukan
secara
berkesinambungan.
Proses pemantauan
evaluasi tersebut
dilakukan secara
terus menerus dan
berkesinambungan
pada akhirnya akan
dapat membenahi
mutu pendidikan.
Pembenahan mutu
pendidikan dimulai
dengan penentuan
standar.
Penentuan standar
yang terus
meningkat
diharapkan akan
mendorong
peningkatan mutu
pendidikan. Yang di
maksud dengan
penentuan standar
pendidikan adalah
penentuan nilai
batas (cut off score).
Seseorang dikatakan
sudah lulus/
kompeten bila telah
melewati nilai batas
tersebut berupa nilai
batas antara peserta
didik yang sudah
menguasai
kompetensi tertentu
dengan peserta didik
yang belum
menguasai
kompetensi tertentu.
Bila itu terjadi pada
ujian nasional atau
sekolah maka nilai
batas berfungsi
untuk memisahkan
antara peserta didik
yang lulus dan tidak
lulus disebut batas
kelulusan, kegiatan
penentuan batas
kelulusan disebut
standard setting.
Manfaat pengaturan
standar ujian akhir:
1. Adanya batas
kelulusan setiap
mata pelajaran
sesuai dengan
tuntutan kompetensi
minimum.
2. Adanya standar yang
sama untuk setiap
mata pelajaran
sebagai standard
minimum pencapaian
kompetensi.

Thursday, March 4, 2010









Tuesday, March 2, 2010

Sifat Terpuji QANA'AH


Sifat Terpuji Qana'ah
( Berfikir Positif )
A. Pengertian
Qana’ah
Qana’ah artinya
rela menerima dan
merasa cukup
dengan apa yang
dimiliki, serta
menjauhkan diri dari
sifat tidak puas dan
merasa kurang yang
berlebihan. Qana’ah
bukan berarti hidup
bermalas-malasan,
tidak mau berusaha
sebaik-baiknya
untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup.
Justru orang yang
Qana’ah itu selalu
giat bekerja dan
berusaha, namun
apabila hasilnya
tidak sesuai dengan
yang diharapkan, ia
akan tetap rela hati
menerima hasil
tersebut dengan
rasa syukur kepada
Allah SWT. Sikap
yang demikian itu
akan mendatangkan
rasa tentram dalam
hidup dan
menjauhkan diri dari
sifat serakah dan
tamak. Nabi
Muhammad SAW
Bersabda :
" Abdullah bin Amru
r.a. berkata :
Bersabda Rasulullah
SAW, sesungguhnya
beruntung orang
yang masuk Islam
dan rizqinya cukup
dan merasa cukup
dengan apa-apa
yang telah Allah
berikan kepadanya.
(H.R.Muslim)
orang yang memiliki
sifat Qana’ah,
memiliki pendirian
bahwa apa yang
diperoleh atau yang
ada pada dirinya
adalah ketentuan
Allah.
Firman Allah SWT :
" Tiada sesuatu yang
melata di bumi
melainkan ditangan
Allah rezekinya".
(Hud : 6)
B. Qana’ah dalam
kehidupan
Qana’ah
seharusnya
merupakan sifat
dasar setiap muslim,
karena sifat tersebut
dapat menjadi
pengendali agar
tidak surut dalam
keputusasaan dan
tidak terlalu maju
dalam keserakahan.
Qana’ah berfungsi
sebagai stabilisator
dan dinamisator
hidup seorang
muslim. Dikatakan
stabilisator, karena
seorang muslim yang
mempunyai sifat
Qana’ah akan
selalu berlapang
dada, berhati
tentram, merasa
kaya dan
berkecukupan, bebas
dari keserakahan,
karena pada
hakekatnya
kekayaan dan
kemiskinan terletak
pada hati bukan
pada harta yang
dimilikinya. Bila kita
perhatikan banyak
orang yang lahirnya
nampak
berkecukupan
bahkan mewah,
namun hatinya
penuh diliputi
keserakahan dan
kesengsaraan,
sebaliknya banyak
orang yang sepintas
lalu seperti
kekurangan namun
hidupnya tenang,
penuh kegembiraan,
bahkan masih
sanggup
mengeluarkan
sebagian hartanya
untuk kepentingan
sosial. Nabi SAW
bersabda dalam
salah satu hadisnya :
„ Dari Abu Hurairah
r.a. bersabda Nabi
SAW : „ Bukanlah
kekayaan itu banyak
harta benda, tetapi
kekayaan yang
sebenarnya adalah
kekayaan hati".
( H.R.Bukhari dan
Muslim)
karena hatinya
senantiasa merasa
berkecukupan, maka
orang yang
mempunyai sifat
Qana’ah, terhindar
dari sifat loba dan
tamak, yang cirinya
antara lain suka
meminta-minta
kepada sesama
manusia karena
merasa masih
kurang pusa dengan
apa yang diberikan
Allah kepadanya.
Disamping itu
Qana’ah juga
berfungsi sebagai
dinamisator, yaitu
kekuatan batin yang
selalu mendorong
seseorang untuk
meraih kemajuan
hidup berdasarkan
kemandirian dengan
tetap bergantung
kepada karunia Allah.
Berkenaan dengan
Qana’ah ini, Nabi
Muhammad SAW
telah memberikan
nasehat kepada
Hakim bin Hizam
sebagaimana
terungkap dalam
riwayat berikut ini :
„ Dari Hakim bin
Hizam r.a. Ia
berkata : saya
pernah meminta
kepada Rasulullah
SAW dan
beliaupunmemberi
kepadaku. Lalu saya
meminta lagi
kepadanya, dan
beliaupun tetap
memberi. Kemudian
beliau bersabda :
„ Hai Hakim ! harta
ini memang indah
dan manis, maka
siap yang
mengambilnya
dengan hati yang
lapang, pasti dieri
berkat baginya,
sebaliknmya siapa
yang mengambilnya
dengan hati yang
rakus pasti tidak
berkat baginya.
Baaikan orang
makan yang tak
kunjung kenyang.
Dan tangan diatas
lebih baik dari
tangan dibawah.
Berkata Hakim ; Ya
Rosulullah ! Demi
Allah yang mengutus
engkau dengan
kebenaran, saya
tidak akan menerima
apapun sepeningal
engkau sampai saya
meninggal dunia.
Kemudian Abu Bakar
RA. (sebagai Khalifah)
memanggil Hakim
untuk memberinya
belanja ( dari Baitul
Mal) tetapi ia
menolaknya dan
tidak mau menerima
sedikitpun
pemberian itu.
Kemudian Abu Bakar
berkata : Whai kaum
muslimin ! saya
persaksikan kepada
kalian tentang Hakim
bahwa saya telah
memberikan haknya
yang diberikan Alah
padanya".
(H.R.Bukhari dan
Muslim )
Qana’ah itu
bersangkut paut
dengan sikap hati
atau sikap mental.
Oleh karena itu untuk
menumbuhkan sifat
Qana’ah diperlukan
latihan dan
kesabaran. Pada
tingkat pemulaan
mungkin merupakan
sesuatu yang
memberatkan hati,
namun jika sifat
Qana’ah sudah
membudaya dalam
diri dan telah
menjadi bagian
dalam hidupnya
maka kebahagiaan
didunia akan dapat
dinikmatinya, dan
kebahagiaan di
akhirat kelak akan
dicapainya. Nabi
Muhammad SAW
bersabda dalam
salah satu hadisnya :
„ Qana’ah itu
adalah simpanan
yang tak akan
pernah lenyap".
(H.R.Thabrani)
demikianlah betapa
pentingnya sifat
Qana’ah dalam
hidup, yang apabila
dimiliki oleh setiap
orang dan
diterapkan dalam
kehidupan sehari-
hari akan mendorong
terwujudnya
masyarakat yang
penuh dengan
ketentraman, tidak
cepat putus asa, dan
bebas dari
keserakahan,seta
selal berfikir positif
dan maju.
Betapa tidak, karena
sebenarnya dalam
Qana’ah
terkandung unsur
pokok yang dapat
membangun pribadi
muslim yang
menerima dengan
rela apa adanya,
memohon tambahan
yang pantas kepada
Allah serta usahadan
ikhtiar, menerima
ketentuan Allah
dengan sabar,
bertawakkal kepada
Allah, dan tidak
tertarik oleh tipu
daya dunia

Sifat Terpuji 'TAAT'


Sifat Terpuji Taat
Beribadah secara
Lillahitaalla (ikhlas)
selalu taat,
merupakan salah
satu cara untuk
mendekatkan diri
dan sangat disukai
oleh Allah dan Rasul-
Nya. Taat secara
bahasa adalah
senantiasa tunduk
dan patuh, baik
terhadap Allah, Rasul
maupun ulil amri. Hal
ini sudah tertuang
didalam Qs An Nisa
ayat 59
“ Hai orang-orang
yang beriman
taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika
kamu berlainan
pendapat tentang
sesuatu, maka
kembalikanlah
kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul
( Sunahnya), jika
kamu benar-benar
beriman kepada
Allah dan hari
kemudian yang
demikian itu lebih
utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya
“.
Berpedoman pada
sepotong firman
Allah diatas yang
memerintahkan
orang-orang yang
beriman supaya
selalu memurnikan
ketaatan hanya
kepada Allah, Rasul
maupun ulil amri.
Soal pemimpin yang
bagaimana yang
harus ditaati tsb ?
tentu pemimpin yang
juga taat kepada
Allah dan Rasulnya,
lalu masih adakah
pemimpin yang
memiliki sifat seperti
yang di uraikan
diatas ? yang lebih
mengutamakan
kepentingan
umum&rakyat
badarai diatas
kepentingan pribadi
dan keluarganya ?.
Taat pada Allah
tidak hanya asal
taat, didalam
pelaksanaan
teknisnya harus
benar dan sungguh-
sungguh sesuai
dengan kemampuan
yang dimiliki, dan
dengan tampa
alasan apapun
menghentikan
segala larangan-Nya.
Sebenarnya apa-apa
yang menjadi
perintah Allah Taalla
sudah tidak
diragukan lagi pasti
tersimpan segala
kemaslahatan
(kebaikan),
sedangkan apa-apa
yang menjadi
larangan-Nya sudah
tertulis akan segala
kemudharatanya
(keburukan).
Kemudharatan
(bencana alam
dimana-mana) yang
sering terjadi akhir-
akhir ini merupakan
imbas dari tidak
menghiraukan
segala larangan Allah
dan Rasul-Nya. Qs Ali
Imran ayat 32
memperjelasnya :
“ Katakanla,
taatilah Allah dan
Rasul-Nya, jika kamu
berpaling, maka
sesungguhnya Allah
tidak menyukai
orang-orang kafir “.
Begitu juga
ketaatan kepada
Rasul, yaitu
Rasulullah Saw
dengan selalu
meimplementasikan
yang terdapat dalam
hadis beliau. Sebagai
utusan Allah Nabi
Muhammad Saw
mempunyai tugas
menyampaikan
amanah kepada
umat manusia tampa
memandang status,
jabatan, suku dsb.
Oleh karena itu bagi
setiap muslim yang
taat kepada Allah
Swt harus
melengkapinya
dengan mentaati
segala perintah
Rasulullah Saw
sebagai utusan-Nya.
Sebagai mana yang
difirmankan Allah
didalam Qs At
Taqabun ayat 12
“ Dan taatlah
kepada Allah dan
taatlah kepada
Rasul, jika kamu
berpaling, maka
sesungguhnya
kewajiban rasul
kami hanyalah
menyampaikan
(amanah Allah)
dengan terang “.
Allah Swt adalah
adalah khalik,
pencipta alam
semesta beserta
isinya ini. Rasulullah
Saw adalah utusan-
Nya untuk seluruh
umat manusia
bahkan kelahiran
dari beliau Saw alam
semesta ini
mendapat rahmat
yang tidak ternilai
harganya. Oleh
karena itu siapapun
yang telah berikrar
(bersyahadad) maka
dengan sendirinya
lahirlah suatu
kewajiban dalam
bentuk ketaatan
kepada keduanya
dalam situasi dan
kondisi apapun.
Namun jenis
ketaatan seperti
yang disebutkan
diatas akan lebih
sempurna kalau
diiringi dengan
ketaatan dan
kepatuhan kepada
ulil amri atau
pemimpin. Ketaatan
tersebut dalam
artian harus selalu
taat dan mematuhi
peraturan-peraturan
yang telah ditelurkan
secara bersama,
tentu selam
peraturan itu masih
diatas nilai-nilai
kemanusiaan dan
tidak menyimpang
dari aturan agama
Islam. Ketaatan itu
bukan hanya harus
diimplementasikan
pada pemimpin
dalam artian luas
saja dalam artian
sempitpun harus
menjadi keseharian
kita, seperti kepada
orang-orang yang
memiliki kuasa dan
kedudukan yang
lebih tinggi. Seorang
anak harus taat dan
patuh pada kedua
orang tuanya, murid
kepada gurunya, istri
kepada suaminya
agar kasus-kasus
perceraian yang
marak terjadi
belakangan ini dan
dengan berbagai
macam
penyebabnya dapat
diminimalisir dsb.
Dari Ibnu Umar Ra.
Nabi Muhammad
Saw bersabda :
“ Wajib bagi
seorang muslim
mendengarkan dan
taat sesuai dengan
yang disukai dan
apabila diperintah
untuk menjalankan
maksiat jangan
dengarkan dan
jangan taati “. ( Hr.
Muslim ).
Ketatatan yang
kita lakukan kepada
Allah, Rasul dan ulil
amri merupakan
ketaatan yang akan
berakibat baik
terhadap amal
ibadah kita selama
ketatan tersebut
tidak diselimuti oleh
berbagai bentuk
kebohongan,
penyakit hati,
kemunafikan dsb.
Malah Islam sangat
memuliakan
umatnya yang
memiliki sifat
tawaduk dengan
selalu merendahkan
hati baik terhadap
Allah maupun
terhadap sesama
manusia. Kita
sebagai muslim
harus menyadari
bertawaduk
merupakan bagian
dari akhlakul
karimah yang
melahirkan manusia-
manusia yang
berprilaku baik,
dengan
memunculkan suatu
kesadaran akan
hakikat kejadian
dirinya dan tidak
pernah mempunyai
alasan untuk merasa
lebih baik, lebih
pintar, lebih kaya,
lebih ganteng, lebih
cantik maupun lebih-
lebih lainya antara
dirinya dengan orang
lain.
“ Dan hamba-
hamba tuhan yang
maha penyayang itu
adalah orang-orang
yang berjalan diatas
bumi dengan rendah
hati dan apabila
orang-orang jahil
menyapa
mereka.mereka
mengucapkan kata-
kata yang baik ‘.
( Qs Al Furqan-63 ).

Sifat Terpuji 'TAWADLU'


t Terpuji Sabar
Prilaku Terpuji
Tawadhu
Sikap merendah
tanpa menghinakan
diri- merupakan sifat
yang sangat terpuji
di hadapan Allah dan
seluruh makhluk-
Nya. Sudahkah kita
memilikinya?
Merendahkan diri
(tawadhu’) adalah
sifat yang sangat
terpuji di hadapan
Allah dan juga di
hadapan seluruh
makhluk-Nya. Setiap
orang mencintai sifat
ini sebagaimana
Allah dan Rasul-Nya
mencintainya. Sifat
terpuji ini mencakup
dan mengandung
banyak sifat terpuji
lainnya.
Tawadhu’''adalah
ketundukan kepada
kebenaran dan
menerimanya dari
siapapun datangnya
baik ketika suka
atau dalam keadaan
marah. Artinya,
janganlah kamu
memandang dirimu
berada di atas
semua orang. Atau
engkau menganggap
semua orang
membutuhkan
dirimu.
Lawan dari sifat
tawadhu’ adalah
takabbur (sombong),
sifat yang sangat
dibenci Allah dan
Rasul-Nya. Rasulullah
mendefinisikan
sombong dengan
sabdanya:
“ Kesombongan
adalah menolak
kebenaran dan
menganggap remeh
orang lain.” (Shahih,
HR. Muslim no. 91
dari hadits Abdullah
bin Mas’ud z)
Jika anda
mengangkat kepala
di hadapan
kebenaran baik
dalam rangka
menolaknya, atau
mengingkarinya
berarti anda belum
tawadhu’ dan anda
memiliki benih sifat
sombong.
Tahukah anda apa
yang diperbuat Allah
subhanahu wa
ta’ala terhadap Iblis
yang terkutuk? Dan
apa yang diperbuat
Allah kepada
Fir’aun dan
tentara-tentaranya?
Kepada Qarun
dengan semua anak
buah dan hartanya?
Dan kepada seluruh
penentang para
Rasul Allah? Mereka
semua dibinasakan
Allah subhanahu wa
ta’ala karena tidak
memiliki sikap
tawadhu’ dan
sebaliknya justru
menyombongkan
dirinya.
Tawadhu’ di
Hadapan Kebenaran
Menerima dan
tunduk di hadapan
kebenaran sebagai
perwujudan
tawadhu ’ adalah
sifat terpuji yang
akan mengangkat
derajat seseorang
bahkan mengangkat
derajat suatu kaum
dan akan
menyelamatkan
mereka di dunia dan
akhirat. Allah
subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Negeri akhirat itu
Kami jadikan untuk
orang-orang yang
tidak
menyombongkan diri
dan berbuat
kerusakan di muka
bumi dan kesudahan
yang baik bagi
orang-orang yang
bertakwa.” (Al-
Qashash: 83)
Fudhail bin Iyadh t
(seorang ulama
generasi tabiin)
ditanya tentang
tawadhu’, beliau
menjawab:
“ Ketundukan
kepada kebenaran
dan memasrahkan
diri kepadanya serta
menerima dari
siapapun yang
mengucapkannya.” (Madarijus
Salikin, 2/329).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam
bersabda:
“ Tidak akan
berkurang harta
yang dishadaqahkan
dan Allah tidak akan
menambah bagi
seorang hamba yang
pemaaf melainkan
kemuliaan dan
tidaklah seseorang
merendahkan diri
karena Allah
melainkan akan Allah
angkat
derajatnya.” (Shahih,
HR. Muslim no. 556
dari shahabat Abu
Hurairah z)
Ibnul Qayyim t dalam
kitab Madarijus
Salikin (2/333)
berkata:
“Barangsiapa yang
angkuh untuk tunduk
kepada kebenaran
walaupun datang
dari anak kecil atau
orang yang
dimarahinya atau
yang dimusuhinya
maka kesombongan
orang tersebut
hanyalah
kesombongan
kepada Allah karena
Allah adalah Al-Haq,
ucapannya haq,
agamanya haq. Al-
Haq datangnya dari
Allah dan kepada-
Nya akan kembali.
Barangsiapa
menyombongkan diri
untuk menerima
kebenaran berarti
dia menolak segala
yang datang dari
Allah dan
menyombongkan diri
di hadapan-Nya.”
Perintah untuk
Tawadhu’
Dalam pembahasan
masalah akhlak, kita
selalu terkait dan
bersandar kepada
firman Allah
subhanahu wa
ta’ala:
“Sungguh telah ada
bagi kalian pada diri
Rasul teladan yang
baik.” (Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak
ayat yang
memerintahkan
kepada beliau untuk
tawadhu’, tentu
juga perintah
tersebut untuk
umatnya dalam
rangka meneladani
beliau. Allah
subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Dan rendahkanlah
dirimu terhadap
orang-orang yang
mengikutimu yaitu
orang-orang yang
beriman.” (Asy-
Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam
bersabda:
“ Sesungguhnya
Allah telah
mewahyukan
kepadaku agar
kalian merendahkan
diri sehingga
seseorang tidak
menyombongkan diri
atas yang lain dan
tidak berbuat zhalim
atas yang
lain.” (Shahih, HR
Muslim no. 2588).
Demikianlah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam
mengingatkan
kepada kita bahwa
tawadhu’ itu
sebagai sebab
tersebarnya
persatuan dan
persamaan derajat,
keadilan dan
kebaikan di tengah-
tengah manusia
sebagaimana sifat
sombong akan
melahirkan
keangkuhan yang
mengakibatkan
memperlakukan
orang lain dengan
kesombongan.
Macam-macam
Tawadhu ’
Telah dibahas oleh
para ulama sifat
tawadhu’ ini dalam
karya-karya mereka,
baik dalam bentuk
penggabungan
dengan pembahasan
yang lain atau
menyendirikan
pembahasannya. Di
antara mereka ada
yang membagi
tawadhu’ menjadi
dua:
1. Tawadhu’ yang
terpuji yaitu ke-
tawadhu’-an
seseorang kepada
Allah dan tidak
mengangkat diri di
hadapan hamba-
hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang
dibenci yaitu
tawadhu’-nya
seseorang kepada
pemilik dunia karena
menginginkan dunia
yang ada di sisinya.
(Bahjatun Nazhirin,
1/657).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog